Salah
satu tradisi penduduk Makkah adalah mengirimkan bayinya ke daerah pedalaman.
Bayi-bayi tersebut dititipkan kepada para orang tua asuh untuk dididik menjadi
anak yang mandiri, sehat dan pintar berbahasa Arab. Bagi Aminah, ibunda nabi
Muhammad, menjalankan tradisi tersebut tidaklah mudah, karena suaminya telah
meninggal dan tidak bisa memberi imbalan yang besar kepada ibu asuh. Terlebih
lagi tahun tersebut adalah musim paceklik.
Bertepatan
dengan lahirnya Muhammad, beberapa orang bani Sa’ad datang ke Makkah. Tujuan
mereka untuk mengantarkan anak asuhnya kembali kepada orang tuanya. Sekaligus
mengari lagi orang tua yang membutuhkan pengasuh bayi.
Ikut
dalam rombongan tersebut seorang wanita bernama Halimah binti Abu Dzuaib
As-Sa’diyah. Ia ingin mencari penghasilan tambahan dengan menjadi ibu asuh.
Halimah memang tidak berasal dari keluarga kaya. Untuk pergi ke Makkah pun, dia
tak membawa banyak bekal. Halimah pergi bersama suami dan anaknya yang masih
kecil dengan mengendarai keledai betina. Suaminya yang menuntun keledai
tersebut. Sedangkan perbekalan diangkut seekor unta tua yang tak mampu berjalan
cepat.
Sepanjang
perjalanan, Halimah tidak turun dari kendaraannya, sehingga keledainya semakin
lemah. Pada waktu malam, ia juga tidak bisa beristirahat karena harus
menidurkan anaknya yang terus menangis karena kelaparan. Kendati kesulitan
terus menerpa, keluarga malang ini tetap yakin bahwa Allah akan memberi jalan
keluar.
Di
Makkah, Abdul Muthallib bersama Aminah mencari wanita yang bersedia mengasuh
Muhammad. Mengetahui kedatangan kafilah Bani Saad, Abdul Muthalib menawarkan
bayi Muhammad untuk mereka asih. Tapi setiap wanita yang ditawari selalu
menolak setelah tahu bayi tersebut adalah anak yatim. Mereka tidak sadar bahwa
bayi itu adalah utusan Allah yang membawa banyak berkah.
Akhirnya
pada hari terakhir, Halimah menemui Aminah dan meminta bayi Muhammad untuk
diasuhnya. Aminah memang tidak bisa memberi banyak imbalan, tapi keluarga Halimah
yakin jika si bayi akan mendatangkan berkah. Setelah itu, keajaiban-keajaban
terjadi silih berganti.
Halimah
menceritakan, “Aku mengambil bayi itu dan meletakkannya di pangkuanku. Ia
langsung menyusu sampai kenyang. Demikian pula dengan saudara sesusuannya.
Kemudian keduanya tidur terlelap. Padahal sebelumnya ia selalu menangis,
sehingga kami tidak bisa tidur untuk menenangkannya.”
Kemudian
suami Halimah menghampiri unta betinanya yang sudah tua. Ternyata unta itu
dapat diperah air susunya. Hingga pada malam itu, mereka dapat beristirahat
dengan tenang. Perjalanan pulang dilalui dengan cepat. Bahkan Halimah tiba di
kampungnya lebih cepat dari rombongan lainnya. Keledai yang dulu paling lemah,
kini menjadi yang paling cepat.
Kehidupan
keluarga Halimah pun berubah. Ternak-ternaknya lebih sehat dan gemuk
dibandingkan dengan milik tetangganya. Ketika sore hari, kambing-kambingnya
pulang dengan perut kenyang dan penuh dengan air susu. Sementara
kambing-kambing yang lain terlihat kurus dan tidak bisa diperah air susunya.
Setelah
beberapa lama, bayi Muhammad mulai tumbuh besar dan sehat. Muhammad tumbuh
lebih pesat dari bayi lain seumurnya. Halimah merawatnya hingga usia empat atau
lima tahun.
Hingga
suatu hari, Muhammad didatangi malaikat Jibril. Malaikat jibril memegangnya
lalu menelantangkannya lalu membelah dadanya. Jantung Muhammad diambil dan
dibuang sebagian darahnya. “Ini adalah bagian setan,” kata Jibril. Jibril
mencuci jantung tersebut dan mengembalikannya ke tempat semula. Teman-teman
sepermainan Muhammad yang melihat kejadian itu berlari ketakutan. Mereka
berteriak, “Muhammad telah dibunuh!”
Peristiwa
ini membuat Halimah cemas. Sehingga ia memutuskan untuk mengembalikannya kepada
keluarganya di Makkah. Meskipun ia masih ingin merawat dan membesarkan Muhammad
agar bisa merasakan berkah dan kebaikan yang dilimpahkan Allah pada diri
Rasulullah.
Source: http://www.adzkia.com/
Source: http://www.adzkia.com/